Kekerabatan Filsafat dan Agama

imam fahrudin

Modernis.co, Malang – Agama menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Tanpa agama di muka bumi, bisa jadi umat manusia masih dalam keadaan jahiliyah atau bahkan lebih buruk karena tidak ada pedoman menjalani kehidupan. Sejenak mari kita kilas balik mengenai apa itu agama. Agama merupakan tata cara, konsep, sistem, doktrin, dogma, kepercayaan yang dianut oleh golongan manusia, yang terdiri dari “A” artinya tidak dan “gama” yang berarti kacau.

Artinya, di sini agama bertujuan menjadikan dunia senantiasa dalam kedamaian, pun tidak ada satupun ajaran agama yang menjerumuskan penganutnya melakukan kekacauan, justru menciptakan ketertiban.

Agama merupakan pilar kemajuan sumber daya manusia dalam membangun peradaban yang lebih mulia. Perkembangan agama berjalan beriringan dengan banyaknya ahli agama yang membawa dakwahnya ke penjuru dunia. Doktrin yang dibawa oleh ahli agama tentu saja menyesuaikan kondisi masyarakat yang menjadi targetnya.

Sehingga tidak heran jika antara umat A dan B berbeda memahami dan mengamalkan ajaran agama. Bahkan antara umat A daerah pegunungan dan umat A daerah perkotaan pun terdapat perbedaan. Perbedaan penerimaan dogma agama dipengaruhi oleh keadaan geografis, perubahan zaman, waktu, tingkat pendidik, dan status sosial.

Perbedaan keyakinan maupun peribadahan tidak jarang mendatangkan polemik. Perdebatan hingga adu kuat antar kelompok kerap terjadi. biasanya hal tersebut dilakukan oleh oknum, karena seharusnya jika membawa nama agama, maka tidak ada hal buruk di dalamnya.

Maka kemudian muncul, tatkala terjadi peristiwa mengecewakan yang dilakukan oleh seorang maupun kelompok atau organisasi agama, jangan salahkan agamanya. Tetapi salahkan individu(pelaku) atau kelompok dan organisasi yang sedang terjangkit perilaku menyimpang dalam beragama.

Dalam dunia yang kaya perbedaan, maka kita perlu memahami atau setidaknya tahu, bahwa ada perbedaan dalam hal agama di sekitar kita. Untuk menyikapi dan memahami keberagaman beragama, kita dituntut untuk pandai berpikir jernih dan dapat memposisikan diri.

Lantas, seharusnya bagaiamana sikap kita dalam menyikapi perbedaan cara beragama? David Trueblood, seorang filsuf agama pernah mengatakan bahwa sangat sukar bagi seorang yang menganut agama dengan sifat bersemangat memandang agama lain dengan rasa cinta dan rasa hormat.

Ekspresi yang beragam dalam beragama memunculkan pertanyaan bagaimana cara menyikapinya. Baik dalam satu agama yang sama maupun lintas agama, sudah barang tentu memiliki berbagai pandangan kepercayaan terhadap sistem agama yang berbeda bagi masing-masing anggota penganutnya, yang harus dibentengi dengan sikap toleransi.

Bagi sebagian orang yang terlibat langsung pada suatu sistem kepercayaan, sistem berpikir, atau dogma tertentu tentunya akan mengalami kesulitan untuk menerima perbedaan yang terjadi di dalam agama maupun lintas agama.

Kesulitan dalam menerima perbedaan ini seperti minyak dan air yang tidak bisa disatukan massa. Dan seperti kutub syamali dan kutub janubi sebuah magnet, keduanya tidak bersatu dan selalu tolak-menolak sehingga satu atau keduanya saling berjauhan.

Seorang yang telah terlanjur terikat, mempercayai, memegang teguh suatu ajaran, paham, atau aliran yang telah sampai kepadanya, akan menjadi lebih sulit dalam menerima perbedaan dalam agamanya maupun lintas agama. Agar lebih sederhana, kita lihat pada polemik kebolehan dan larangan tentang merokok yang masih menjadi permasalahan bagi gaya hidup yang berbeda dari manusia.

Satu pihak menyebut bahwa rokok memiliki banyak kemudaratan atau keburukan dari berbagai sudut pandang, sementara pihak lain menyebut bahwa rokok adalah hak individu bahkan mengklaim memiliki manfaat jika dikonsumsi. Namun beruntunglah, masyarakat kita sudah tahu bahwa ini adalah pilihan gaya hidup.

Sehingga kemudian terlintas bahwa baik dan buruk, benar atau salah adalah subjektifitas. Dari sini terlihat manfaat ketika kita dapat berpikir jernih dan pandai memposisikan diri. Untuk melatih hal tersebut, maka dalam kehidupan beragama, atau istilah perbedaan ekspresi nilai-nilai keagamaan dibutuhkan apa yang namanya filsafat.

Philosophy of Religion, filsafat dan agama merupakan satu paket seperti halnya disiplin ilmu lain yang mestinya saling berkaitan. Filsafat agama bukan sekedar disiplin ilmu di jenjang pendidikan tertentu, namun sudah menjadi kebutuhan manusia yang telah mengakar dalam segala aktifitasnya. Untuk menyikapi perbedaan cara beragama mesti diperlukan ketrampilan berpikir atau filsafat ini.

Dengan filsafat, ketrampilan berpikir mendalam dan kritis dapat melahirkan penjelasan bagi diri untuk menghormati setiap perbedaan. Penjelasan tersebut tersusun dalam argumen-argumen yang merupakan hasil dari analisis berbagai kumpulan informasi baik secara lisan maupun tulisan.

Selanjutnya, filsafat menuntut kita untuk berpikir logis. Artinya adalah ketika filsafat sudah tertanam dalam aktifitas manusia, maka dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengundang pro dan kontra, manusia dapat menanganinya dengan dingin dan metode yang tepat.

Filsafat dalam beragama menjunjung tinggi toleransi. Jangan disalahartikan, toleransi bukanlah menerima semua perbedaan, namun lebih menghormati dan menghargai perbedaan. Toleransi dibutuhkan dalam menyikapi kemajemukan pikir dan tindak dari masing-masing individu terkait dengan keberagaman beragama.

Diksi menerima tidak dipakai dalam toleransi beragama, hanya saja kesadaran akan adanya perbedaan yang mesti dihargai dan dihormati di sekeliling kitalah yang mesti dibangun. Kemampuan berfilsafat dalam beragama akan meredam nafsu untuk saling menatap sinis paham berlainan.

Kemampuan berpikir akan membuat seseorang menampung banyak informasi, dan dengan informasi akan memudahkan seseorang dalam berkomunikasi. Komunikatif, logis, ide rasional, dan menjunjung toleransi akan mengaminkan pengertian agama secara etimologi.

Seorang yang telah menginternalkan goodness values tersebut akan lebih dewasa dan mantap untuk hidup berdampingan dengan perbedaan. Dari sini filsafat diperlukan dalam beragama, dan agama sangat diperlukan dalam berfilsafat. Kemudian daripada perbedaan yang ada, dengan hati yang tulus perbedaan tersebut didudukkan bersama, dan melakukan dialektika yang berfungsi untuk berdialog dengan daya nalar.

Tentunya dengan ajang dialektika yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sehingga perbedaan yang ada justru akan menambah warna kehidupan, khazanah intelektual, dan menyatu dalam kemajemukkan hidup bermsayarakat.

Agama merupakan sistem kepercayaan yang dipercayai personal penganutnya. Kebenarannya akan dinilai oleh masing-masing penganutnya. Agama menjanjikan kedamaian dan keselamatan bagi penganutnya di alam akhirat nanti. Untuk menemui jalan paling benar bukanlah ranah dari agama, apalagi filsafat.

Kemudian kebenaran mutlak dapat kita kembalikan kepada sistem kepercayaan kita, yang paling berkuasa tanpa pernah menyalahgunakan kekuasaan, dan maha adil dengan segala perhitungan, yakni Tuhan Yang Mahas Esa. Kemerdekaan berpikir seyogyanya dapat kita manfaatkan sebaik mungkin.

Dapat memaknai hidup seluas mungkin adalah anugrah dari sang pemberi kemungkinan pada segala hal dengan kun fayakunNya. Sebaik-baik jalan mencapai kebenaran(tidak mutlak) adalah dengan tetap bergerak, berpikir, bertindak, dan berdialektika terhadap informasi-informasi, sehingga tersusun argumentasi tulis maupun lisan dalam menangani keberagaman beragama.

Untuk mencapai kesuksesan, tak cukup dengan satu kali melangkah. Butuh lebih dari satu langkah untuk mencapai kesuksesan. Begitu pula untuk membangun kesadaran bertoleransi terhadap perbedaan ekspresi beragama, baik internal maupun eksternal (satu agama maupun lintas agama).

*Oleh : Imam Fahrudin (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam. Universitas Muhammadiyah Malang)

Related posts

Leave a Comment